BIMA, Warta NTB – Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan program dari Kementerian Sosial (Kemensos RI) yang bertujuan untuk mengurangi angka kemiskinan dan memutus rantai kemiskinan antar-generasi, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta mengubah perilaku yang kurang mendukung peningkatan kesejahteraan.
Secara khusus tujuan program PKH mencakup tiga poin diantaranya meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan peserta PKH, meningkatkan taraf pendidikan peserta PKH dan meningkatkan status kesehatan dan gizi peserta PKH.
Sementara di Kabupaten Bima sendiri, program yang bertujuan mengurangi angka kemiskinan dan memutus mata rantai kemiskinan antar-generasi ini sedang banyak mendapat sorotan baik oleh media massa maupun netizen.
Beberapa hal yang menjadi sorotan publik antara lain pelaksanaan kegiatanyang terkesan tertutup dan data-data penerima tidak pernah dibeberkan ke publik. Pendataan yang dinilai tidak transparan dan tingkat pengawasan terhadap pendamping yang dinilai lemah sehingga menimbulkan berbagi persolan di lapangan.
Menyorot persolan PKH di Kecamatan Palibelo bahkan beberapa waktu lalu Laskar Mahasiswa dan Pemuda Peduli Rakyat (LAMPAR) turun ke jalan mendesak Camat Palibelo membentuk Tim Pengawas PKH.
Sementara di Kecamatan Monta sendiri sejumlah Ibu-ibu Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Desa Sie menggelar aksi protes terkait adanya dugaan pemotongan dan pemaksaan pengunduran diri bagi KPM yang dilakukan oleh pendaping. Bahkan beberapa kali mendatangi kantor Dinas Sosial Kabupaten Bima.
Dengan berbagai persolan terungkap adanya pemotongan dana PKH sebesar Rp 250 ribu per KPM dengan alasan bantuan untuk korban bencana gempa bumi, tsunami, likuifaksi di Palu, Sulteng yang terjadi pada tanggal 28 September 2018 lalu.
Menurut salah satu penerima manfaat warga Desa Sie, Kecamatan Monta, pemotongan itu dilakukan pada saat pencairan tahap I dengan dalih sumbangan untuk korban gempa Palu.
“Kalau tidak salah pemotongan itu dilakukan pada pencairan tahap I setelah gempa bumi Palu, besarannya masing-masing Rp 250 ribu per penerima,” kata salah satu penerima manfaat yang tidak ingin disebutkan namanya.
Kata dia, karena saat itu pencairannya pas setelah gempa bumi Palu, kami hanya diberitahukan oleh pendamping bahwa nominal penerimaan akan dikurangi masing Rp 250 ribu dengan alasan kebijakan pusat dan dana tersebut akan digunakan untuk membantu korban gempa bumi Palu.
“Saat itu, kami tidak protes karena katanya itu kebijakan pusat, jadi kami hanya menerima sisa nominal dari potongan Rp 250 ribu. Misalnya Rp 600 ribu yang harus kami terima, maka yang diterima saat itu hanya sisanya Rp 350 ribu belum termasuk jasa brilink dan lain-lain,” ungkapnya.
Sementara ketika ditanya, apakah potongan dana itu benar-benar kebijakan pemerintah pusat untuk membantu korban gempat Palu, dia mejawab tidak tahu.
“Kami tidak tahu, karena katanya itu kebijakan pusat, kalau dibilang kebijakan pusat kami nurut aja dan hanya menerima sisa dana dari potongan tersebut,” ujarnya.
Sementara terkait pemotongan ini, Kepala Dinas Sosial Kebupaten Bima melalui Kasi PHK Ismut, SE yang dikonfirmasi wartawan di kantor setempat, Kamis (3/10/2019) mengatakan, terkait pemotongan Rp 250 ribu untuk bantuan gempa adalah pengurangan nilai bantuan PKH oleh pemerintah pusat atau kementrian untuk penerima seluruh wilayah Indonesia.
“Itu bukan pemotongan yang dilakukan oleh pendamping PKH karena semua itu bisa kami pertanggung jawabkan dan surat keputusan itu dipegang oleh semua pendamping untuk melakukan pemotongan,” bebernya saat diwawancara bersamaan dengan keluhan ibu-ibu penerima PKH Desa Sie. (WR-TIM)