Oleh : Ali Bin Dahlan
Kepada seluruh rakyat di Nusa Tenggara Barat, ku kirimkan surat pribadiku ini. Bagi yang belum kenal denganku, kali ini kusebutkan namaku, sering dipanggil Ali BD. Sebenarnya namaku Ali atau Moh Ali atau Ali Dahlan atau Ali Bin Dahlan atau Amaq Asrul menurut panggilan Sasak sesuai nama anak yang pertama.
Lahir sebagai anak desa pada 30 Desember 1948. Sepuluh bulan lagi usiaku memasuki 70 tahun. Tinggi badanku 165 cm, berat badanku 72 kilogram. Tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu berat. Sesuai dengan kebanyakan orang-orang Indonesia pada umumnya.
Menurut dokter yang memeriksa saya, saya dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Mampu bekerja sebagai apa saja.
Mungkin ini disebabkan oleh kebiasaanku berolahraga dengan jalan kaki atau memanjat gunung dan daerah perbukitan yang terjal. Kadang ada sindiran pak Ali terlalu tua menjadi calon gubernur, tapi tidak menyayangkan pejabat negara yang lebih tua dari saya. Baik sebagai gubernur atau bahkan wakil presiden. Karena ini tidak penting pada umumnya saya biarkan berlalu begitu saja.
Saya memiliki dua orang putra, yang pertama drg. H Asrul Sani dan yang bungsu Ahmad Zulfikar. Dari kedua putraku lahir lima cucu yang lucu dan menyenangkan. Kedua putraku lahir dari ibu, juga dari desa seperti saya. Namanya Hj Supinah. Seperti ibu-ibu pedesaan lainnya, sederhana. Inilah kehidupan saya dan keluarga saya, mudah dan sederhana. Tidak membedakan siapapun juga dalam pergaulan sehari-hari.
Saudaraku yang baik hati. Mungkin ada yang bertanya mengenai kegiatanku sehari-hari? Dari tahun 2013 sampai sekarang saya masih menjadi Bupati Lombok Timur (Lotim). Pernah juga menjadi bupati sebelumnya dari 2003 sampai 2008 yang lalu. Antara 2008 sampai 2014 saya menyelesaikan studi saya di jenjang S2 dan S3.
Sementara itu sampai sekarang, saya tetap sebagai petani kecil. Kadang mengawasi perusahaan dan memperhatikan Universitas Gunung Rinjani yang saya dirikan pada tahun 1996 lalu. Saya juga rajin mengunjungi berbagai lembaga sosial dan pendidikan, bersilaturahmi sambil membincangkan masalah yang terjadi di tengah masyarakat.
Di luar kesibukan rutin sebagai petugas negara, saya membaca koran rata-rata 25 menit sehari, mebaca buku 30 menit, memperbaiki letak buku atau pakaian di kamar. Tampaknya menjadi pejabat negara lebih banyak waktu untuk menerima masyarakat dari berbagai kelompok yang datang dari berbagai kalangan. Baik dari wilayah Lotim maupun dari daerah lain.
Saya senang banyak masyarakat yang mengunjungi saya dengan berbagai tujuan, walaupun tidak semua harapan mereka dapat terpenuhi dengan sesegera mungkin.
Seringkali tamu saya melihat saya duduk di muka papan catur. Bersama sopir atau ajudan. Mereka mengira saya seorang pemain catur kawakan. Padahal saya hanya main-main. Untuk menghilangkan kejenuhan sambil mengasah siasat dan pikiran untuk menjaga kerja syaraf dan otak. Agar tetap segar.
Saya sungguh bukan pemain catur, bahkan tingkat kampung saja saya kalah, jika dipertandingkan. Saya tetap senang. Saya pernah kalah jadi bupati dan Wali Kota Mataram, tapi saya tidak pernah berhenti jadi calon bupati. Dan sekarang menjadi calon gubernur. Semua itu adalah bagian dari perputaran hidup saya.
Saudaraku, saya adalah manusia biasa. Banyak kelemahan, banyak kesalahan dan bahkan banyak orang yang merasa tidak senang dan tidak puas dengan sikap dan tingkah laku saya. Baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat pemerintahan.
Bahkan yang lebih tragis, ada juga yang menilai diri saya sebagai sosok yang sulit, sombong, acuh dan nyentrik. Semua julukan teresebut terserah pada yang menilainya. Sesungguhnya diri saya jauh dari sifat seperti itu.
Namun saya akui, masih belum sepenuhnya saya menjadi orang baik. Itulah sebabnya, saya berusaha sekuat tenaga memperbaiki diri agar lebih baik. Saya ikut pendapat orang arif bahwa menjadi penting itu baik, tetapi jauh lebih penting menjadi orang baik.
Saudaraku, sekarang kita di tahun 2018. Nanti pada tanggal 27 Juni, ada Pilkada. Ada empat calon, tiga dari partai politik satu dari rakyat sendiri. Karena itulah, saya berkirim surat padamu. Rakyat yang telah besusah payah, mencalonkan saya sebagai utusanmu. Lebih dari 600 ribu KTP telah diserahkan, namun hanya 325 ribu saja yang dibutuhkan.
Mereka yang namanya ikut diverifikasi, telah dicatat sebagai pengusung independen. Sejatinya Pilkada adalah hal biasa di negara kita. Yang kurang biasa adalah jarang mengikutsertakan masyarakat mengusung calon. Inilah saatnya saudaraku rakyat NTB menggunakan haknya untuk memilih calon pemimpinnya. Bukankah hanya rakyat yang berdaulat?
Banyak orang tidak terbiasa menggunakan calon independen, lalu meremehkannya. Itu berarti meremehkan rakyat yang memiliki kedaulatan. Saudaraku tak perlu cemas, jutaan rakyat ada di belakangmu. Mereka adalah orang baik, tapi tak tahu jalan keluarnya.
Kini saatnya saya bersamamu, bersama teman-teman kita dari berbagai kalangan. Ibu rumah tangga, para pengangguran, petani, buruh, guru honorer, guru besar, dosen, pemuda, pelajar, sopir, wartawan, nelayan, para tuan guru, ustad, dokter dan tenaga kesehatan lainnya, serta semua komponen masyarakat yang tak mampu saya sebutkan namanya.
Kita berkumpul di sini untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Dalam bahasa rakyat yang tidak dibungkus dengan kata-kata manis, namun di dalamnya penuh tipu daya. Kita rakyat biasa, biasa hidup dan berpikir sederhana. Dalam kesederhanaan itu, kita lebih cepat diperdaya, saya bersamamu rakyat NTB.
Saudaraku, negara ini sungguh penting bagi kita dan generasi mendatang. Rakyatlah yang mendirikannya, karena itu kita yang harus menjaganya. Momentum Pilkada hendaknya kita gunakan untuk menguatkan persatuan bangsa ini. Janganlah saudaraku terseret dalam gelombang politik yang menghalalkan segala cara. Janganlah saudaraku terseret politik yang memecah belah untuk memeroleh keuntungan sendiri.
Rakyat telah lama sulit dalam hidupnya, karena itu jangan dipersulit dengan cara mengadu domba. Negara Indonesia yang didirikan oleh semua komponen bangsa yang terdiri dari berbagai suku dan agama. Bahasa dan adat istiadatnya adalah negara yang indah dan hebat. Pilkada adalah ajang berdemokrasi, bukan gelanggang saling menjatuhkan.
Saudaraku, rakyat NTB yang saya cintai. Di saat Pilkada banyak pihak yang datang padamu dengan berbagai gaya dan siasatnya demi meraih tujuannya. Sungguh mereka juga saudara kita yang sedang memanfaatkan waktunya untuk meraih kemenangan.
Dalam pepatah Sasak ada ungkapan sebagai berikut. Dengan bebodo tekaken isiq dengan rireh. Karena itulah agama kita mewajibkan menuntut ilmu bagi kita semua. Ajang Pilkada tahun ini adalah tahapan penting bagi rakyat meningkatkan ilmunya dengan memperjuangkan haknya. Khususnya hak politiknya secara langsung melalui calon independen.
Saudaraku, saya di sini Amaq Asrul bersama Lalu Gede Sakti akan tetap bersama dan berdiri di garis paling depan untuk memperjuangkan hak-hakmu yang telah hilang atau dirampas secara semena-mena.
Saya dan rakyat mengajakmu berterima kasih pada pemimpin-pemimpin terdahulu, pada Gubernur NTB, mulai dari Ruslan Cakraningrat, Wasita Kusuma, Gatot Suherman, Warsito, Harun Alrasyid, Lalu Serinata, sampai gubernur kita yang sekarang TGB Dr Zainul Majdi yang baik hati.
Mereka telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi perkembangan daerah ini. Orang baik selalu menghargai kebaikan orang lain, lebih-lebih para pemimpinnya. Pemerintahan yang akan datang sesungguhnya adalah melanjutkan pemerintahan yang sekarang, tetapi dengan penyempurnaan sesuai dengan perkembangan zaman.
Karena itu, wahai saudaraku, surat yang kukirim ini hanyalah pendahuluan dari suratku yang akan datang, sebagai penyempurnaan dari kekurangan dalam lembaran-lembaran surat ini. Sampai jumpa besok, salam dari saudaramu. Amaq Asrul. (*)