Oleh: Dwi Haryadi, SH. MH
Silahturahmi keilmuan, sebenarnya judul ini saya pilih agar tulisan ini terkesan agak “berbobot” dan sedikit “ilmiah”. Harapannya agar kalangan akademik berkenan membacanya, karena tuangan pikiran ini saya publikasikan di web Dikti yang menjadi ruang informasi bagi para ilmuan. Lebih sederhana, judul di atas saya maksudkan sebagai semua aktivitas akademik yang berjalan dikampus, apakah itu proses pendidikan, penelitian maupun pengabdian masyarakat yang kita hafal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Pendidikan, seringkali kita artikan secara sempit sebagai kegiatan belajar mengajar saja. Meskipun pada hakikatnya tentu lebih dari itu, dan kita kadang-kadang mengetahuinya, sekaligus mengabaikannya. Akibatnya secara praktis usulan jabatan akademik pada unsur pendidikan pun banyak didominasi oleh SKS mengajar yang banyak, ditambah dengan membimbing skripsi bagi yang dinilai sudah layak membimbing, plus jabatan bagi yang menduduki jabatan. Sementara untuk unsur pengembangan program kuliah dan bahan ajar jarang sekali terisi. Misalnya pembuatan buku ajar, modul, alat bantu atau melakukan orasi ilmiah.
Proses di atas jika terus berlangsung akan menghambat tujuan pendidikan yang menginginkan ilmu itu dinamis dan berkembang, tidak stagnan, apalagi jika yang dibahas dikelas ternyata ketinggalan zaman alias tidak up to date. Ilmu yang bergerak cepat menuntut kita untuk selalu ‘melek’ dan turut bergulat didalamnya, sehingga kita paham dan tidak hanya diam ditempat, sementara yang lain diwaktu yang sama sudah berlari jauh. Pengetahuan jelas dapat dikembangkan dalam kegiatan belajar mengajar dikelas. Namun akan lebih ber-isi dan aktual lagi jika kemudian dikembangkan dan dituangkan dalam teks buku atau diktat. Apabila memungkinkan disampaikan dalam fórum ilmiah. Misalnya ada dosen yang menyampaikan pikiran-pikiran atau temuan akademiknya melalui orasi ilmiah, minimal dilakukan saat dies natalis universitas.
Siap Belajar dan Mengajar
Setiap dosen harus siap mengajar, sehingga tidak ada kalimat “siap tidak siap harus mengajar”. Tetapi dosen juga manusia, ada sisi lain yang mempengaruhi “kesiapannya” mengajar. Sama halnya dengan mahasiswa yang seharusnya juga selalu siap belajar. Sering ada permakluman antar keduanya dalam posisi “siap” ini. Namun permakluman itu kini terasa telah bergeser pada ketidakproduktifan bersama, karena keduanya sama-sama tidak siap.
Ada mahasiswa kuliah hanya mengejar kewajiban 75 % hadir, lalu duduk dibelakang, ngerumpi, SMS, dan FB. Waktu luang dikampus juga tidak diisi dengan membaca diperpustakaan atau bergaul dalam organisasi dan kegiatan kemahasiswaan, namun hanya habis kumpul-kumpul, gosib, lalu pulang. Begitu juga dosen, ada yang masih mengajar apa adanya dengan materi yang tidak berubah dari semester ke semester. Sikap anti telat yang berlebihan, kuliah yang monoton, minim diskusi dan kesempatan mahasiswa bertanya hanya sesaat sebelum kuliah berakhir. Kemudian sikap memposisikan diri sebagai manusia serba tahu, menyebabkan pertanyaan kritis, sanggahan dan masukan mahasiswa menjadi tidak berarti dan seolah menjadi ancaman bagi eksistensinya. Belum lagi jika ada dosen yang selalu ganti jadwal kuliah karena kesibukannya, yang harus diakui atau tidak diakui mengurangi kualitas pengajarannya.
Kerja dosen memang tidak hanya mengajar, tetapi juga melakukan penelitian dan pengabdian, plus tugas struktural dan lain-lain. Idealnya, semua dapat berjalan bersama secara proporsional dan tidak saling mengabaikan, terutama silahturahmi keilmuan dengan mahasiswa dikelas. Sulit memang, bahkan saya sendiri amat sangat berat jika diminta melakukannya. Tapi mudah-mudahan kesemua cerita di atas tidaklah terjadi. Kalaupun terjadi, saya harap ini sebagai bentuk evaluasi untuk perbaikan kedepan, terutama bagi diri saya sendiri. Orang bijak bilang, “bercerminlah sebelum menilai sesuatu”.
Suasana Belajar
Pola mengajar dosen memang beragam. Ada yang masih masuk kelas dan mengajar dengan teks book, alias membaca dan menuliskan materi dari buku yang dibawanya ke papan tulis. Alhasil, sistem ujiannya pun tidak jauh berbeda. Kata, kalimat, bahkan titik dan koma harus sama persis dengan bukunya tadi. Salah sedikit sama dengan salah semua dan tiada ampun. Berikutnya masih ada dosen yang masih menggunakan OHP, tetapi ada pula yang berupaya menyesuaikan dengan hitech, mengajar menggunakan Laptop. Sebagian menambahkan dengan media lain, seperti menayangkan video atau film untuk memudahkan penyerapan oleh mahasiswa. Jadi tidak hanya disampaikan secara audio tetapi juga visual.
Apapun media yang digunakan, sekali lagi, yang terpenting adalah proses belajar yang dilakukan. Percuma saja menggunakan laptop jika ternyata polanya sama dengan Mr & Mrs Teks book tadi. Jadi media hanyalah alat bantu dan mempermudah transfer kepada mahasiswa. Proses belajarlah yang terpenting, yaitu materi yang up to date, dialogis, diskusi, ujian tidak sekedar teks book, tapi lebih banyak análisis, sehingga mahasiswa terbiasa dengan berfikir dalam pemecahan masalah dan bukan hanya “ilmu hafal” yang hilang setelah ujian.
Disamping pola belajar, suasana kelas juga sangat menentukan efektivitas dan kualitas silahturahmi keilmuan dikelas. Suasana kelas dipengaruhi banyak faktor. Mulai dari kesiapan dosen dan materinya, pola mengajar dosen, pola tempat duduk, keseriusan mahasiswa, sampai dengan ratio jumlah mahasiswa. Mr & Mrs Teks book akan membuat kuliah monoton dan mahasiswa pun sangat tidak tertarik dan merasa bosan dengan kuliah tersebut. Sebaliknya dengan pola kuliah yang dialogis dan diskusi, yaitu ada komunikasi dua arah antar dosen dengan mahasiswa, atau antara mahasiswa. Kuliah akan lebih menarik perhatian mahasiswa jika dikemas dengan análisis kasus atau dengan uji labor atau praktek lapangan. Jadi mahasiswa tidak mendapat ilmu hanya dari teks book dan berada diawang-awang. Lebih fatal lagi jika yang kita sampaikan tidak dapat dipahami dan dimengerti oleh mahasiswa. Resmilah kita mengajar untuk memuaskan diri sendiri. Tidak !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Mahasiswa juga menjadi faktor penentu dalam me-rileks-kan suasana belajar. Mahasiswa bukanlah obyek, tetapi juga subyek dalam kelas. Ia juga harus didengarkan dan punya hak berpendapat, baik itu pendapat yang sama maupun berbeda dengan sang dosen. Yang penting adalah argumentasinya. Disitulah proses perkembangan ilmu berjalan. Ilmu selalu dinamis dan dimulai dari perbedaan pendapat. Dosen bukanlah mahluk serba tahu. Jadi dosen tidak perlu alergi dengan mahasiswa yang banyak bertanya, kritis dan berbeda pendapat dengannya. Apalagi sampai memusuhi dan muncul dendam kesumat sampai ke nilai mahasiswa. Lebih parah lagi tidak mau membimbing skripsi yang bersangkutan. Ini tentu subyektivitas dosen yang harus dibuang jauh-jauh.
Berikutnya, jumlah mahasiswa yang terlalu padat alias ‘ramai’ juga menurunkan kualitas suasana belajar dikelas. Disini diperlukan kebijakan pasti dan tegas dari institusi agar perbandingan ratio mahasiswa dan dosen harus mendukung efektivitas dan kualitas belajar. Jangan sampai belajar dikelas sudah seperti suasana pasar atau seminar yang dihadiri sampai puluhan orang.
Demikian sedikit tulisan yang mungkin lebih bermuatan cerita dan bukan bahasan tentang pendidikan tinggi yang bicara tataran kebijakan dengan segala teori pendidikan. Dari perbaikan kecil disekeliling kitalah perubahan besar akan terjadi. Semoga bermanfaat.
Penulis adalah Dosen Fakultas HUkum Universitas Bangka Belitung dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP
Sumbe: ristekdikti.go.id