Pohon Terakhir

4697
Ilustrasi : The oldest tree ( Methuselah )by Heno Airlangga, 51cm x 81cm, year 2014

Oleh: Muammar Kaddafi

Dulu nenek mengisahkan, di dahan dan ranting pohon kelor di perkampungan, banyak burung kakatua yang hinggap. Sekarang kakatua sudah tak ada. Lenyap entah ke mana. Sekarang, semenjak nenek tak ada, kelor pun mulai langka.

Kakek tak mau kalah. Kakek juga punya kisah. Kakek bercerita, dulu orang-orang di kampung mandinya di kali. Kala itu kali masih jernih. Air mengalir dari mata air pegunungan sepanjang musim. Sekarang  kali sudah tak jernih lagi. Kakek telah tiada. Dan gunung pun tak lagi mengalirkan mata air.

Baik kakek maupun nenek, keduanya selalu menceritakan satu kisah pohon keramat. Batang pohonya sangat besar. Kira-kira ukurannya sepuluh kali pelukan orang dewasa. Daunnya sangat rindang. Cabangnya banyak. Akarnya mencengkram kuat ke dalam tanah

Orang kampung mengeramatkan pohon itu. Jangankan memotong pohonnya, kencing sembarangan di bawahnya pun bakal kualat. Tak hanya itu. Berbicara saja harus dijaga. Tak boleh ngelantur. Jangan coba-coba mengganggunya. Kalau tidak, tujuh turunan bakal menanggung akibatnya.

Tapi itu dulu. Tatkala ilmu pengetahuan masih sangat terbatas. Hanya orang-orang tertentu bisa beli buku. Jangankan perpustakaan umum, buku-buku pelajaran saja harus disalin di papan tulis hitam, kemudian murid-mirid menyalinnya di buku pelajaran masing-masing. Di rumah, murid menyerap ilmu dari catatan tangannya sendiri.

Zaman telah berubah. Memercayai pohon keramat pasti dianggap tahayul. Itu hanyalah mitos. Ilmu pengetahuan telah menelajangi segala cerita mistik di balik pohon keramat. Jangan coba-coba membuat cerita itu lagi. Lebih-lebih jangan pernah pakai untuk status di media sosial. Kalau tidak, tujuh turunan bakal menanggung bully. Dianggap kolot.

Zaman telah berubah. Semua yang samar kini telah terang-benderang. Revolusi ilmu pengetahuan mampu menjawab segala pertanyaan apapun. Dunia dalam genggaman. Tinggal masukan kata kunci, jjjreng… keluar jawaban.

Dunia kedokteran pun demikian. Semuanya sudah serba canggih. Semua penyakit sudah tentu ada bahasa medisnya. Tak mampu disembuhkan di Puskesmas, tinggal rujuk ke rumah sakit daerah. Tak sembuh juga, tinggal rujuk ke luar daerah yang kelasnya lebih tinggi. Bahkan bisa rujuk sampai luar negeri. Tinggal siapkan duitnya. Jadi, jangan pernah lagi datang memohon sembuh pada pohon keramat.

Sekarang dunia telah berubah. Semuanya dituntut serba cepat. Termasuk menghasilkan duit, harus cepat. Mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu secepat-cepatnya. Itu hukum mencari uang zaman sekarang. Kalau dulu, masih menggunakan kosa kata “mencari nafkah”, tapi sekarang tidak lagi. Zaman sekarang orang-orang gemar memburu lebih dari nafkah.

Di zaman ini, urusan sandang, pangan dan papapun sudah tidak lagi menjadi topik yang keren untuk dibicarakan. Yang jadi trending topic sekarang itu: android canggih keluaran terbaru apa? Isi qouta internet berapa? Sambungan WiFi yang bagus di mana? Dan status di media sosial yang lagi viral apa?

Yah! Semua yang serba cepat dan serba keren itulah yang pada akhirnya telah merubah segalanya. Kini pohon terakhir yang dikisahkan kakek dan nenek telah tiada. Pohon dan batangnya telah menjadi koleksi perabotan mahal di rumah-rumah gedongan. Akarnya yang kokoh telah menjadi potongan-potongan meja antiq koleksi galleri beken di kota besar. “Dibasmi sampai akar-akarnya” kalimat itu rasanya cocok sekali untuk menggambarkan akhir cerita pohon keramat.

Apa boleh buat. Tuntutan menghasilkan uang yang serba cepat telah memasukan bahan mentah apa saja ke dalam “penggilingan”, keluarnya pun langsung jadi duit. Harus cepat. Sebab barang-barang impor telah mununggu manis di toko-toko terdekat. Telat sedikit, akan ketinggalan keren, sebab keluaran terbaru akan segera datang.

Dan belum lama ini. Masih di zaman bluetooth dan vedeo call. Kisah zaman Nabi Nuh seolah dikisahkan kembali dalam adegan nyata. Sebuah kota tenggelam oleh air bah yang mengamuk. Hutan dan sungai seolah memuntahkan segala unek-uneknya. Tanah yang tandus, tebing-tebing yang telah sesak menumpahkan amarahnya.

“Ketika pohon terakhir sudah kita tebang, ketika sungai terakhir sudah tercemar dan ketika ikan yang terakhir sudah ditangkap, pada saat itu kita baru akan sadar bahwa uang tak bisa kita makan.” Begitulah hikayat pohon terakhir.