Penguatan Komitmen Kultural, Arah Baru Gerakan Mahasiswa

1810

Oleh: Satria Madisa

Mahasiswa adalah aset bangsa yang perlu dirawat. Keberlangsungan roda sejarah sangat dipengaruhi keberadaan mahasiswa. Sejarah bangsa kita sudah membuktikan.

Zaman berubah begitu cepat. Kita generasi “milenial” hidup di tengah gempuran kemajuan IPTEK yang didukung modrnisasi hampir disemua sektor. Modrnisasi yang menggandeng globalisasi mengharuskan negara, tidak lagi dibatasi patok. Akses komunikasi dan informasi yang serba canggih, menggeser orientasi berbangsa dan bernegara. Modrnisasi seperti “buah simalakama”, menolak sama halnya hidup dizaman batu, menerima, kita harus siap terjerumus dan punah dari aspek budaya, sosial, politik, dan agama.

Modrnisasi melahirkan konsepsi baru seperti, westernisasi (Pembaratan), hedonisme bahkan sekulerisasi semua sektor kebangsaan kita. Tentu paradigma berbangsa kita harus sehat dan mendewasakan. Ketika moral generasi muda bobrok, pembaratan terjadi di mana-mana yang disalahkan adalah modrnisasi dan globalisasi.

Bahkan karna dianggap salah akhirnya tumbuh bibit-bibit menghakimi yang diarahkan dengan sikap “Penolakan modrnisasi dan globalisasi” bukankah itu keharusan, dan yang salah adalah kita, bahwa kita menerima kemajuan, modrnisasi dan globalisasi dengan pikiran tertutup.

Mahasiswa  Now harus kembali mendialogkan kemajuan  dengan filosofi bangsa. Mendialogkan kembali budaya yang tersusupi (westernisasi) dengan kearifan lokal serta ada ikhtiar untuk menyaring.

Peneguhan Komitmen Kultural Suatu Jalan Ideal

Budaya Bangsa kita yang sangat kental dengan spirit gotong royong, musyawarah untuk mufakat, dan idiologi bangsa pancasila tidak boleh kalah bersaing dengan budaya barat serta idiologi barat seperti liberalisme, komunisme, kapitalisme. Tentu pertarungan budaya dan idiologi imbas dari pertarungan SDM.

Kemajuan sebuah bangsa sangat bergantung pada ketersediaan SDM. SDM inilah penentu kemajuan bangsa.

Pergeseran orientasi pembangunan negara harus disambut gembira oleh mahasiswa. Konsepsi “piramid terbalik pembangunan” dimana membangun negara dimulai dari Daerah. Ditengah kompleksitas persoalan bangsa seperti masalah sosial ekonomi, budaya dan politik, hukum dan agama maka harus ditarik basis nilai bahwa sudah saatnya kaum muda dan mahasiswa meramaiakan panggung pembangunan bangsa dimulai dari daerah.

Maka dipandang perlu, mahasiswa dan pemuda untuk terlibat aktif menyongsong pembangunan tersebut. Paradigma mahasiswa  Now sangatlah sentralistik. Sentralistik pandangan tersebut bisa dilihat bahwa, persoalan yang cenderung didorong adalah persoalan Nasional. Persoalan Korupsi misalnya, bahwa pergerakan/ peran mahasiswa hanya mengkritisi dan mengawal persoalan korupsi elit-elit nasional.

Padahal Korupsi sudah menjamur dikalangan Pemda bahkan pihak swasta yang ada didaerah. Menarik kita jadikan refleksi bahwa Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) melacak transaksi mencurigakan, (pencucian uang) dengan 19 orang yang diduga  terlibat dalam sejumlah tindak pidana disepanjang 2017. Transaksi yang diduga terkait kasus korupsi yang totalnya Rp 747,048 triliun lewat 228 rekening bank dan lembaga keuangan. (Lombok post). Ini hanya satu dari sederet persoalan Hukum di NTB yang sekiranya jadi refleksi bersama.

Mencintai Daerah kelahiran bagian dari spirit nasionalisme. Maka dipandang perlu, kita mahasiswa untuk terus mengawal kemajuan Daerah, bahkan kemajuan Desa. Bukankah perubahan dimulai dari hal yang kecil ?

Pergeseran orientasi dan paradigma mahasiswa  Now harus menjadi Grand Desain serta spirit kita. Sudah puluhan tahun Otonomi Daerah tapi kenapa kita tidak sambut dengan Otonomi Gerakan Mahasiswa. Otonomi gerakan mahasiswa dimana setiap mahasiswa diseluruh penjuru Negri kembali mendialogkan dirinya terhadap masalah-masalah yang menghambat kemajuan daerah. Bukankah Daerah Maju, Indonesia pasti Maju ?

Otonomi gerakan Mahasiswa harus menjadikan Komitmen kultural menjadi landasan, spirit, konsepsi, bahkan idiologi membangun Bangsa dimulai dari Daerah. Otonomi pergerakan mahasiswa tidak sama konsepsinya dengan Otonomi Daerah. Karna mahasiswa tidak punya kekuasaan yang absolut. Mahasiswa tidak memiliki presiden, raja, ataupun ratu.

Fokus kajian dan kontrol mahasiswa  now lebih cenderung dengan hal yang lazim disebut isue nasional. Ini bisa dilihat dari peran organisasi mahasiswa (skala nasional) tertentu yang ada di NTB yang miskin inisiatif mendorong kemajuan Daerah. Serta membangun suasana dialogis antara posisi dan peran, dalam tataran aksi maupun gagasan membangun Daerah.

Ali Syariaty, idiolog  revolusi Islam Iran pernah mengatakan bahwa tugas kaum intelektual bukan hanya menafsirkan makna ketidakadilan, tapi juga hadir dalam mengubah ketidakadilan. Kalau kita cermati dan kontekstualkan pernyataan Ali Syariati, ini sangat relevan dengan kondisi objektif mahasiswa hari ini, yang katanya intelektual muda.

Ketersediaan SDM yang didukung kapasitas keilmuan, kapasitas organisasi secara konseptual mahasiswa NTB memilikinya. Ini bisa dilihat dari jumlah Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta yang menghasilkan puluhan ribu sarjana disetiap Tahun. Gagasan selangit, tapi tidak pernah menyentuh bumi, tidak lebih baik dari kerja kecil tapi berhadapan langsung dengan realita masyarakat.

Paradigma yang berkembang di era milenial bahwa sukses itu foto selfi dengan pejabat dan artis. Sehingga inisiatif menerjemahkan fungsi dan peran mahasiswa absurd dalam ruang praktik.

Hijrah  pemikiran besar-besaran penting terinternalisasi dalam diri mahasiswa. Hijrah dari sikap menganggap bahwa, daerah itu tidak penting.

Kemajuan IPTEK dan modrnisasi di semua lini kebangsaan kita, harus dimanfaatkan secara positif. Budaya-budaya daerah harus mampu bersaing di tengah perang antar budaya sekarang. Mahasiswa harus tampil sebagai kaum tercerahkan dengan mengemban misi pembaharuan bangsa yang dimulai dari daerah.

Keberadaan Mahasiswa sebagai Agen of change, sosial control, iron stocke dan moral force harus diarahkan dan dioptimalkan dalam pembangunan bangsa yang dimulai dari pembangunan Daerah. Iklim dialogis, kontekstual mahasiswa harus direkonstruksi, direvitalisasi dan didevinisikan sesual realita sosial kekinian.

Sebagai aset bangsa yang sangat vital dan menentukan keberlangsungan roda sejarah bangsa maka, dipandang penting potensi-potensi harus menciptakan panggung dalam pembangunan Daerah.

Tentu, untuk bisa hadir sebagai alat pembangunan bangsa mahasiswa harus membentengi diri dari budaya-budaya barat dengan falsafah bangsa dan kearifan lokan. Disamping itu, penguatan basis keilmuan, kapasitas organisasi dan moral mahasiswa menjadi poin yang penting untuk diperhatikan.

Musuh utama mahasiswa adalah segala macam bentuk ketidakadilan. Tentu keberpihakan mahasiswa pada kebenaran dan pembangunan bangsa harus menjadi mainstrem pemikiran dan kerja mahasiswa.

Hari ini, ada semacam king maker yang sengaja mendesain mahasiswa untuk memusuhi dan mendiskreditkan sesama. Dalih perbedaan idiologi organisasi cukup ampuh untuk melemahkan dan mengacaukan konsentrasi pergerakan mahasiswa. Soekarno, Muh. Hatta, Tan Malaka, Sutan Syahrir berbeda idiologi pergerakanya, tapi manakala diletakan pondasi bahwa kemerdekaan adalah tujuan kolektif, maka idiologi tidak berwenang menguggurkan cita-cita kemerdekaan tersebut.

Lantas kenapa Kita tidak bisa melakukan hal yang sama ?

Penulis meyakini bahwa musuh utama perubahan sosial adalah kultur, tentu kultur mahasiswa dalam tanda kutip.

Semoga saja diawal tahun 2018 kita mahasiswa bisa berbenah diri. Bahwa Daerah juga butuh cinta dari mahasiswa lebih khusus organ mahasiswa yang katanya lumbung aktivis dan berkumpulnya intelektual mahasiswa.

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Mataram