Oleh: Alan Malingi
Pacoa Jara atau pacuan kuda pertama kali dilaksanakan pada tanggal 31 Agustus 1927 dalam rangka memperingati hari kelahiran Ratu Wilhemina. Orang-orang Belanda menggelar pacoa Jara di lapangan Manggemaci Bima sekarang di Paruga Nae Convention Hall Kota Bima. Sejak saat itu, pacoa jara menjadi tradisi yang dilaksanakan setiap tahun rata-rata mencapai 3 kali sampai 4 kali setahun.
Pada masa lalu, Pacoa Jara juga dilaksanakan ketika ada kegiatan di Istana Bima seperti khitanan putera puteri Sultan dan kegiatan lainnya.
Pada tahun 1942- 1945, Pacoa Jara Dilarang oleh Pemerintah Militer Jepang karena membuat masyarakat malas. Pada saat itu Jepang mengerahkan penduduk Bima terutama yang laki-laki untuk melakukan Romusya.
Ada ikatan emosional antara kuda dengan pemiliknya dalam setiap perhelatan Pacoa Jara. Ada beberapa larangan dan pamali ketika kuda hendak berlaga dalam arena pacoa jara. Pemilik kuda tidak boleh kotor. Selama kuda berlaga, pemiliknya tidak boleh bersetubuh saat kuda akan turun arena. Ada juga tradisi mencukur rambut kuda pada hari jumat.
Dalam kehidupan masyarakat Bima, kuda mempunyai jiwa seperti manusia. Tradisi memanggil “Sando” atau dukun kuda juga dilakukan. Sando akan menjadi “Ina Jara” atau ibu dari kuda yang berlaga yang merawat, menuntun, membimbing kuda layaknya seorang ibu yang memberikan belas kasih kepada anak-anaknya.
Joki Cilik
Pada awal pacoa Jara, Juki Jara (Joki) dilakukan oleh orang-orang dewasa. Seiring perkembangan zaman dan adanya pertimbangan untuk meringankan beban kuda dalam pacuan, digantilah dengan joki kecil. Joki dikontrak oleh pemilik kuda untuk setiap pacoa Jara. Tetapi ada juga yang memilih freelance dengan upah Rp 300 ribu untuk setiap pacoa Jara. Saya belum tahu persis berapa sewa joki untuk saat ini. Para Joki menggunakan helm kecil penutup kepala, engkel di kaki dan tangannya, penutup hidung dan cambo (cambuk). Mereka kadang tidak memakai sepatu. Jika diamati, atribut keamanan dan pengamanan bagi joki itu sangat tidak layak.
Kini persoalan Joki Cilik menjadi masalah karena jatuh korban Atas nama Muhammad Sabila asal Desa Roka, Kabupaten Bima. Persoalan muncul antara tradisi dan eksploitasi anak. Menurut saya, penggunaan joki cilik ini bukanlah tradisi, karena toh pada awalnya pacuan kuda menggunakan joki remaja dan dewasa. Belajar dari kecelakaan dalam arena pacuan kuda selama ini, maka perlu dilakukan pembenahan regulasi dalam pacuan kuda, agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi.
Judi
Pacuan kuda bagi masyarakat Bima ibarat gadis cantik dan penuh pesona. Di arena Pacoa Jara semua berbaur.antara hobi,keberanian, mata pencaharian, seni, ilmu hitam, prestise dan kebanggaan, dan yang paling trend adalah judi. Kita akui bahwa pacuan kuda adalah warisan budaya dan tradisi sekaligus olahraga tradisional yang harus terus dilestarikan baik dalam rangka pelestarian budaya maupun promosi pariwisata daerah. Tapi di sisi lain, pacuan kuda juga identik dengan judi. Dua kutub ini adalah akar yang sama-sama tumbuh dalam satu wadah di arena pacuan kuda.
Mencabut “ Akar” yang bernama judi dalam Pacuan Kuda membutuhkan energy bersama semua kalangan agar pacuan kuda tetap sebagai icon daerah dalam rangka promosi wisata daerah. Pacuan kuda tidak bisa hanya dilihat sebagai Budaya dan efek positif geliat ekonomi pasar yang kompleksitas terjadi di arena tersebut, tetapi yang terpenting pula adalah kesadaran semua pihak akan masalah judi yang bertentangan dengan nilai agama.
Semoga ada keikhlasan kolektif, untuk memandang dan menyikapi prosesi judi yang acap terjadi diarena pacuan kuda, tidak dijadikan tradisi yang terkesan pembiaraan. Sesungguhnya budaya pacuan kuda yang menjadi icon daerah dapat terus lestari tanpa diikuti hal-hal yang negative menurut budaya dan agama. Semuanya berpulang pada kesadaran kita semua.
Kesimpulan Dan Saran:
1. Pacuan Kuda harus terus dilestarikan dan penggunaan Joki Ciik Perlu ditinjau kembali dan dihentikan.
2. Perlu formula dan regulasi yang berkaitan dengan aspek-aspek keselamatan dan kemanan bagi Joki dalam setiap pacuan kuda. Bila perlu ada ansuransi jiwa terhadap para joki.
3. Supaya tidak simpang siur dan terjadi pro kontra di media sosial berkiatan dengan Pacuan Kuda Dan Joki cilik serta judi ini, perlu dilakukan pertemuan dan urung rembuk berkaitan dengan masalah ini antara Pemerintah, Pordasi, LembagaPerlindungan anak dan tokoh budaya dan tokoh agama.
4. Menghentikan judi dalam setiap Pacoa Jara memang sulit. Tetapi perlu pemahaman, kesadaran, penyuluhan dari semua stakeholder agar judi dapat dihilangkan.
Sumber Bacaan:
1. Alan Malingi, Artikel “ Kuda Dalam Perspektif Masyarakat Bima “ Disampaikan pada seminar Kuda Bima tahun 2013.
2. Fahru rizki, Mbojoklopedia, “ Mengupas Tradisi Pacoa Jara Masyarakat Bima.
3. Abdullah Tayib, BA, Sejarah Bima Dana Mbojo;
4. Dr.Hj.Siti Maryam Salahuddin, Undang-Undang Bandar Bima
5. Djamaluddin Sahidu, Kampung Orang Bima.
6. Romi Perbawa, The Rider Of Destiny.