Mereka Yang Korup, Rakyat Yang Dituding?

1765
Ilustrasi Gantung Koruptor

Oleh: Muammar Kaddafi, SH

Zumi Zola adalah kepala daerah terkini yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), setidaknya saat tulisan ini dibuat (05/02/2018). Keruan saja, kabar tersebut menjadi santer dibicarakan khalayak ramai.

Informasi terbaru: Hari ini, Minggu 11/2/2018 KPK baru melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati Ngada, NTT, Marianus Sae.

KPK menetapkan Gubernnur Provinsi Jambi itu sebagai tersangka, ia diduga menerima suap sebesar Rp 6 miliar dari beberapa proyek yang dilaksanakan di Jambi. Uang suap tersebut digunakan untuk menyuap anggota DPRD Jambi agar mau mengetok palu RAPBD Jambi.

Kasus korupsi Zumi Zola menambah panjang deretan kepala daerah yang terlibat dalam kasus korupsi. Berdasarkan data yang saya himpun dari berbagai sumber, semenjak KPK berdiri tahun 2003, setidaknya kini tercatat sebanyak 72 kepala daerah terlibat kasus korupsi yang ditangani KPK.

Berbagai analisa dari pengamat bermunculan menanggapi fenomena korupsi kepala daerah. Besarnya biaya politik akibat Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) langsung ditengarai sebagai faktor utama peyebab korupsi kepala daerah.

Alasan tersebut dikuatkan dengan adanya mahar politik yang harus ditunaikan oleh setiap calon untuk partai politik pengusung. Mahar tersebut menjadi semacam tiket bagi calon untuk menaiki kendaraan partai menuju bursa pencalonan.

Sejumlah pengurus partai politik tentu saja membantah istilah mahar politik. Kalaupun ada sejumlah uang yang mesti disetor oleh calon yang bersangkutan, itu sebagai biaya kampanye, biaya tim, biaya saksi dan lain-lain.

Ada kalangan yang menganggap, oleh karena mahalnya biaya politik yang dikeluarkan oleh calon kepala daerah, maka kelak ketika terpilih ia berpotensi melakukan korupsi. Penyelewengan kewenangan sebagai kepala daerah dilakukan untuk menutupi biaya politik yang telah dikeluarkan.

Sejumlah analis memperkirakan, seorang kepala daerah terpilih, dalam satu periode kepemimpinan, baru bisa menutupi biaya politik yang telah dikeluarkan. Termasuk mempersiapkan dana cadangan untuk biaya kendaraan politik pada pencalonan periode berikutnya.

Yang menarik dari analisis ini ialah, kepala daerah yang bersangkutan baru bisa memetik “keuntungan” jikalau terpilih kembali untuk periode berikutnya. Namun hitung-hitugan waktu tersebut tidak berlaku umum, tergantung kecakapan kepala daerah tersebut mencari peluang “duit masuk”.

Jadi, hitung-hitungannya sudah bicara soal untung rugi.

Bedasarkan alasan-alasan tersebut, maka muncul lagi wacana untuk mengembalikan proses pemilihan kepala daerah secara tidak langsung. Pemilihan dilakukan oleh anggota DPRD di masing-masing daerah, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi.

Atas fenomena maraknya kepala daerah yang terlibat korupsi, banyak kalangan berpendapat – ini merupakan bentuk kegagalan demokrasi langsung. Dan solusinya pun main potong kompas, yakni meminta agar pemilihan kepala daerah dikembalikan ke tangan DPRD.

Sebetulnya perdebatan pengembalian proses pemilihan kepala daerah melalui DPRD bukan wacana baru. Tahun 2014, DPR telah mengesahkan UU No 22 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Undang-undang ini mengatur bahwa pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD.

Undang-undang tersebut tidak sempat dilaksanakan. SBY membatalkan pemberlakuan undang-undang tersebut melalui kewenangannya sebagai presiden. Pada tanggal 2 Oktober 2014, SBY mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) No. 1 dan No. 2 Tahun 2014. Inti dari perpu tersebut menghapus kewenangan DPRD untuk memilih kepala daerah.

Alasan presiden SBY cukup bisa diterima akal sehat. Mantan Menkopolhukam era Megawati itu berpendapat, pemilihan langsung merupakan bentuk kedaulatan rakyat sebagai amanat reformasi. Ia juga mencontohkan, bahwa dirinya adalah presiden Indonesia pertama yang terpilih dalam pemilihan langsung.

Dalam hal ini saya sependapat dengan SBY. Keinginan mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD menurut saya adalah langkah mundur demokrasi. Korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah tidak dapat dikatan sebagai akibat dari pemilihan langsung.

Jangan lupa, sistem demokrasi telah diterima sebagai tata cara penyelenggaraan pemerintahan semenjak proklamasi kemerdekaan. Substansi demokrasi adalah melibatkan masyarakat dalam berbagai pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup masyarakat itu sendiri.

Masyarakat diberikan kesempatan untuk memilih siapa yang akan menjalankan pemerintahan (eksekutif). Selain itu juga masyarakat diberi kesempatan untuk menentukan siapa yang akan mengawasi pemerintahan (legislatif). Pemilukada merupakan pengejawantahan demokrasi di daerah.

Bahwa dalam pelaksanaannya Pemilukada masih banyak kekurangan di sana sini, mari kita evaluasi bersama. Untuk diperbaiki, bukan untuk ditarik kembali dengan cara diserahkan kepada DPRD. Jangan karena ingin menangkap tikus di dalam lumbung, lumbungnya yang dibakar.

Begitu pula cara pandang dalam menyikapi korupsi yang dilakukan oleh sejumlah kepala daerah. Kenapa mereka yang korupsi, lantas hak rakyat yang mau dikebiri. Alasan biaya politik mahal tidak ada kaitannya dengan kehendak rakyat.

Logika mengembalikan proses pemilihan kepala daerah melalui DPRD akibat banyaknya kepala daerah terlibat kasus korupsi tidak dapat diterima akal sehat. Mengapa?

Pertama, kalau menggunakan logika statistik, jumlah 72 tak bisa dijadikan alasan untuk menjeneralisir bahwa semua kepala daerah hasil Pemilukada rusak semuanya. Ibarat pepatah, jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

Hingga saat ini di Negara Kesatuan Republik Indonesia terdapat 34 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kotamadya. Jangan hanya karena perilaku buruk sebagian kepala daerah kemudian menuding semuanya buruk.

Kedua, tidak ada jaminan proses pemilihan kepala daerah melalui DPRD bebas dari biaya politik dan politik uang. Siapa yang bisa mengontrol transaksi partai politik dengan calon. Siapa yang bisa menjamin anggota DPRD tidak memasang harga untuk satu suara yang ia miliki.

Ketiga, kita tak boleh mengabaikan sejarah. Jangan lupa, landasan sejarah dilaksanakannya pemilihan lagsung eksekutif di segala tingkatan, mulai dari bupati/wali kota, gubernur sampai presiden adalah berangkat dari faktor ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga legislatif.

Keempat, berangkat dari landasan sejarah di atas, pertanyaannya kemudaian adalah apakah legislatif dalam hal ini DPRD sudah berubah. Berubah dalam arti sudah betul-betul berperan sebagai jelmaan kehendak rakyat? Saya yakin tidak! Jadi mana mungkin rakyat mau kecolongan untuk kedua kalinya.

Kelima, tuntutan mengembalikan pemilihan kepala daerah di tangan DPRD justeru menimbulkan pertanyaan publik – jangan-jangan ini hanyalah akal-akalan partai politik untuk menambah pundi-pundi uang yang masuk.

Keenam, fenomena diperbolehkannya calon kepala daerah jalur perseorangan oleh undang-undang, harus dibaca sebagai jawaban sekaligus hukuman atas ketidakberdayaan partai politik dalam melahirkan calon kepala daerah yang mumpuni.

Bola sesungguhnya berada di tangan partai politik. Partai politiklah yang punya tugas untuk melakukan pendidikan politik kepada kader-kadernya. Partai politik bertugas menyaring calon kepala daerah yang betul-betul memiliki integritas. Jangan hanya berdasarkan maharnya. Dan jangan lagi menyalahkan rakyat.

Rakyat tidak pernah meminta syarat yang aneh-anah kepada setiap calon. Mahar politik bukan rakyat yang minta. Bikin baliho besar-besaran, dipanjang sampai ke sudut-sudut RT bukan rakat yang minta. Kampanye pengerahan massa besar-besaran bukan rakyat yang minta.

Bagi-bagi sembako bukan rakyat yang minta. Cetak beribu-rubu kaos juga bukan rakyat yang minta. Undang artis ibu kota bukan rakyat yang minta. Sumbang ini sumbang itu bukan rakyat yang minta. Termasuk bagi-bagi duit dalam serangan fajar juga bukan rakyat yang minta.

Melainkan semua itu dilakukan oleh mereka sendiri yang tidak siap menjadi calon. Mereka tidak mampu menghadirkan konsep perubahan yang menarik perhatian rakyat sebagai pemilik kedaulatan.

Jadi, berhentilah menghakimi demokrasi dan kehendak rakyat sebagai penyebab lahirnya koruptor. Korupsi harus dibasmi sampai ke akar-akarnya, demokrasi jalan terus. [MK]

Opini, Esai, Sastra, Budaya dan lainnya dapat dilihat di blog: muammarkaddafi.com