Menyemai Asa di Atas Lumpur

4145
Ilustrasi lukisan abstrak : qolbunhadi.com

Oleh: Muammar Kaddafi

Kota Bima bagai gadis belia. Ia baru saja berdandan. Usianya akan menginjak 15 tahun sejak ditetapkan sebagai Kota Madya, 10 April 2002 yang silam. Sedang molek-moleknya. Sedang genit-genitnya merias diri. Setiap mata yang memandang tentu akan langsung jatuh hati. Dulu kota ini tempat para sultan memerintah. Namanya bahkan terurai dalam setiap lembaran sejarah bangsa.

Sebuah kota kecil yang indah. Gugusan bukit dan pegunungan berbaris seolah menjadi benteng-benteng alam yang memagari kota. Berada di pesisir Teluk Bima yang tenang. Di sana ada Pelabuhan Bima yang telah dikenal sejak jaman dahulu. Tempat persinggahan para saudagar dari bermacam negeri. Tak berlebihan kiranya dijuliki “Kota Tepian Air”.

Semenjak ditetapkan menjadi Kota Madya, berbagai upaya penataan telah berlangsung. Jalan-jalan utama diperlebar; fasilitas umum dibuat; gang-gang diaspal; selokan dan parit dipugar; gedung-gedung baru bermunculan; taman-taman kota dirias; dan lampu-lampu penerang jalan ditambah. Semuanya berkilauan. Aduhai… indah nian kotaku, kotamu dan kota kita.

Sungguh, bencana datang tidak terkira. Cobaan menerpa tak berkabar. Sepanjang sejarah kota ini, 21 dan 23 Desember 2016 bisa jadi hari ternaas dari hari-hari sebelumnya. Pada 21 Desember banjir bandang datang bagai kepungan serdadu tiada ampun.

Mula-mula banjir menerjang tebing-tebing rapuh sungai yang tak lagi dalam. Kemudian menerpa pemukiman sepanjang sungai. Perlahan namun pasti kemudian meluap di ruas-ruas jalan. Tidak cukup sampai disitu, tanpa permisi air merambat masuk ke rumah-rumah warga, perkantoran, dan bangunan apa saja berposisi rendah.

Warga kota tampak mulai panik. Situasi semakin mencekam. Keganasan banjir bandang seolah tak beri ruang sedikit pun untuk tenang. Dalam hitungan jam, air bah menenggelamkan hampir seluruh permukaan kota. Air mata jatuh ke tanah seakan tak ada artinya. Ia larut dalam derasnya air bah mengalir congkak.

Cerita pilu belum juga usai. Saat warga kota sedang maratapi puing-puing yang berserakan, 23 Desember adalah hari dimana banjir susulan tak kalah ganasnya. Bahkan lebih ganas dari hari sebelumnya. Letih, sedih dan air mata belum berlalu, lengkap sudah segala duka nestapa yang menyelimuti warga kota.

Ratapan mewarnai hari-hari berikutnya. Gambar kota yang porak-poranda membanjiri beranda sosial media. Berita media massa penuh narasi kehancuran. Sahabat, kerabat dan handai tolan nun jauh di luar kota menjadi panik. Bagaimana tidak? Listrik mati tolal. Telepon genggam tak bisa dihubungi. Kala itu Kota Bima menjadi kota mati. Dan kini wajahnya tak cantik lagi. Lumpur membaluri sekujur tubuh kota.

***

Jangan larut dalam kesedihan. Lihatlah! Lihat ke bawah. Tundukkan kepala sejenak. Lihat apa yang menyembur keluar di celah-celah lumpur yang belum juga kering. Lihatlah apa yang merambat di antara puing-puing renruntuhan itu. Ada bibit-bibit harapan yang sedang tumbuh subur.

Bibit-bibit itu macam-macam rupanya. Mula-mula berbentuk kerucut di dalam kantong plastik warna merah. Ialah nasi bungkus yang dikirim dari berbagai penjuru. Selanjutnya makanan instan, pakaian, obat-obatan, keperluan bayi, alat kebersihan, seragam sekolah, tenaga dan pikiran pun membanjiri Kota kita.

Para punggawang bangsa ini juga tidak ketinggalan. Mulai dari Gubernur NTB, Menteri Sosial, Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Kapolri, Panglima TNI sampai Wakil Presiden RI pun turun tangan. Mereka semua hadir di kota kita.

Mereka yang dari pedalaman, mereka yang dari atas perbukitan, mereka yang dari luar kota, mereka yang dari luar daerah, mereka yang dari luar pulau, bahkan mereka yang dari luar negeri berbondong-bondong mengulurkan tangan.

Dan tahu kita? Bibit yang lain rupa-rupa warnanya. Kita memang tak kuasa memilih dan memilah bibit yang datang. Sebab di mana ada ladang kemanusiaan di situ akan tumbuh bermacam bibit. Bisa jadi mereka sangat berbeda dari kita. Bermacam-macam suku, berbeda-beda agama dan keyakinan, berbeda golongan, berbeda bahasa, berbeda warna kulit semuanya tumbuh dalam ladang kemanusiaan.

Kita saksikan betapa solidaritas lintas batas telah menggetarkan jiwa-jiwa yang letih. Kita telah merasakan belaian tangan-tangan kemanusia yang bermacam itu menyentuh kalbu. Bahwa sesungguhnya kita tidak sedang sendirian menghadapi semua cobaan ini.

Saudaraku. Mari kita kembali menatap esok yang lebih baik. Sesungguhnya harapan itu masih ada. Kota kita bukanlah Atlantis yang hilang. Kota kita bukanlah Spartan yang hancur berkeping-keping. Tidur kita mungkin masih lebih nyenyak dari saudara kita di Aleppo. Senyum kita mungkin saja masih lebih renyah dari saudara kita di Rohingya.

Dan mari belajar memabangun dari Nagasaki dan Herosima. Dua kota yang hancur berkeping-keping akibat Bom Atom. Mereka pernah kehilangan segalanya. Tapi ada satu yang tak pernah hancur oleh senjata apapun. Yah. Dialah HARAPAN. Mari kita sudahi segala kesedihan di detik-detik penghujung tahun 2016 ini. Mari kita sambut 2017 dengan harapan baru.