Oleh : Satria Madisa
Mahasiswa Ilmu Hukum Unram
Pekan terakhir masyarakat Kabupaten Bima dihebohkan dengan kehadiran retail modrn di Bolo. Kehadiran Alfamart sontak mendapatkan reaksi dan aksi dari masyarakat luas, pro kontra menggema diruang publik, lebih-lebih sosial media.
Beragam aksi penolakan masyarakat setempat terhadap legalisasi Alfamart yang dianggap mendiskreditkan pedagagan kecil. Penolakan dari masyarakat dikarenakan Retail Modrn seperti Alfamart mencampakan dan mematikan pedagang kecil, apalagi disepanjang jalan utama bolo Kabupaten Bima itu dipenuhi pedagang kecil yang memang mencari hidup dengan usaha dagang (Toko dan UKM).
Alfamart dan Nasib Pedagang Kecil
Alfamart ataupun semacamnya (Retail Modrn) adalah konspirasi ekonomi, dari imprealisme dan kapitalisme yang diarahkan untuk menghisap perekonomi kelas bawah seperti halnya pedagang kaki lima dan pedagang kecil lainya. Alfarmart itu simbol real dari Kapitalisme serta praktek dari keberaadaan ekonomi kapitalis yang sengaja diarahkan untuk menghancurkan pedagang kecil.
Wakil presiden (Wapres) RI Jusuf Kalla, pernah mengatakan “Satu mini market (alfamart) bisa membuat 20 warung kecil disekitarnya gulung tikar” ungkapnya dalam pidato penutupan Musrenbangnas di Hotel Bidakara, Jalan Gatot Subroto, Jakarta selatan, Kamis (18/12/2014). Seperti dilansir dari Rakyat Sulsel.com.
Dengan menjadikan Pernyataan Wapres Jusuf Kala sebagai basis kajian Penulis berpendapat bahwa satu alfarmart di Bolo berpotensi mematikan 20 warung atau UKM /Toko disekitarnya. Artinya peluang kerja (Dampak Positif) tidak sebanding dengan Dampak negatifnya. Dalih bahwa hadirnya alfamart untuk menyerap tenaga kerja, berpotensi harus mematikan tenaga kerja yang tersedia dalam hal ini pedagang kecil di wilayah tersebut.
Pemkot bima tidak mengijinkan alfamart berada dikota Bima dengan alasan belum saatnya hadir, begitupun juga Pemda Dompu. Ada contoh yang layak untuk Pemda Bima pelajari bahwa Walikota padang Tegas menolak kehadiran alfamart dengan alasan takut perekonomian masyarakatnya hancur dan menemui ajalnya (Pedagag kecil dan toko-toko disekitarnya habis digilas sistem ekonomi kapitalis itu) dan mewacanakan konsep “Halal Mart” yang nantinya memasarkan prodak dari kota padang, beda halnya dengan pemda kabupaten Bima, Kemana DPRD dan Pemda yang katanya pro rakyat ?
Apakah menurut Pemkab Bima Kabupaten lebih maju dari kota Bima yang tidak mengijinkan alfamart ada di kota?
Dengan dalih bahwa alfamart ada ijinnya (legal), Dengan dalih sosialisasi dua kali dilakukan dikantor camat Bolo bukan menjadi alasan pembenar legalisasi alfamart. Kalau sudah sosialisasi dimasyarakat, mengapa banyak terjadi penolakan. Justru pemerintah Daerah harus menolak kehadiran alfamart, seperti halnya walikota Bima dan Bupati Dompu.
Tanpa beban Bupati Bima mengatakan menyebarluaskan investasi. Bukankah harus juga harus lihat dampak dan kondisi masyarakat Bima secara sosiologis. Penolakan hadirnya alfamart itu bukti bahwa nurani masyarakat setempat tidak terima dengan hadirnya gurita kapitalis yang berbentuk alfamart tersebut.
Pemerintah Daerah perlu jalan-jalan melihat daerah yang bagaimana ekonomi masyarakatnya sejahtera karena kehadiran retail modrn tersebut. Pemerintah daerah kita perlu berkaca pada sikap pemimpin yang lain, bukankah kebijakan itu mendiskreditkan pedagang kecil ?
Anggap saja satu alfamart bisa mengakomodasi 10 tenaga kerja (Dampak Positifnya). Lantas bagaimana dengan tokoh kecil yang terancam tutup karnanya ?
Kebijakan pemerintah Daerah juga harus dikorelasikan dengan fakta sosiologis masyarakat Bima, bagaimana ekonominya, dan matapancaharian yang menghidupkan perekonomianya.
Di Bolo sepanjang jalan masyarakatnya adalah pedagang kecil, matapancaharian dengan hasil berdagang. Tentu ini berbahaya bagi keberlangsungan roda ekonomi masyarakat setempat.
Keberpihakan pemda dengan memberikan ijin alfamart, merupakan bukti rill keberpihakan Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada pemilik modal yang notabanenya kaum Kapitalis. Sekaligus menunjukan sikap Pemda tidak berpihak pada kepentingan ekonomi pedagang kecil yang sudah lama beraktivitas untuk roda kehidupanya.
Bukankah ada wacana BUMDes da Mart yang katanya sahamnya 85% dari Pemda. Beda dengan alfamart yang 85% sahamnya dari pihak asing. Kok yang didukung itu alfamart?
Seharusnya Wacana BUMDes mart itu yang diprioritaskan dan mendapatkan dukungan dari Pemda untuk menyukseskanya.
Kalau Bupati Bima cerdas, tentu BUMDes mart itu lebih menjanjikan dan tentunya tidak mematikan pedagang kecil. Karna pemodalnya dari Pemda lewat Dinas BPMD, Paling tidak kita tidak menghamba pada kaum kapitalis yang menghisap dan menghancurkan perekonomian masyarakat Kecil. Sekaligus ikhtiar memodernisasi Bima dengan konsep dan tekad yang lahir dari daerah itu sendiri.
Keberadaan ekonomi masyarakat Bima yang menurut hemat saya belum menunjukan tingkat kesejahteraan, Pemda seharusnya merumuskan dan konsisten dengan BUMDes Mart bukan malah memberi ijin Alfamart. Ataukah BUMDes Mart mau disandingkan dengan Alfamart?
Pemda harus mengevaluasi Ijin alfamart dengan alasan bahwa Bima belum membutuhkan itu. Pedagang-pedagan kecil akan jadi korban, tentu sangat berbahaya bagi eksistensinya. Andai kata BUMDes Mart itu sulit diwujudkan oleh Bupati, maka upaya memodrnisasi Pasar tradisional itu langkah keharusan. Untuk meningkatkan optimisme pedagang kecil di Kabupaten Bima khususnya di Bolo yang menjadi Lokus kehadiran Alfamart.
Bukankah BUMDes Mart itu lebih bagus dari pada Alfamart simbol kapitalis yang penghisap tersebut. Seharusnya Pemda menyalurkan energi agar BUMDes Mart bisa diwujudkan.
Ijin alfarmart sepertinya perlu ditinjau kembali. Atau jangan-jangan Pemda lebih berpihak pada kaum pemodal dari pada masyarakat ?
Semoga Bupati Selalu sehat.