Balai Arkeologi Denpasar-Bali dalam seminggu terakhir melakukan penelitian terhadap situs Doro Bente atau benteng pertahanan di savana Gunung Tambora, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. “Benteng pertahanan tersebut merupakan sisa peninggalan Kerajaan Pekat sekitar 400 tahun silam,” ujar ketua tim peneliti dari Balai Arkeologi Denpasar I Putu Yuda Haribuana, Jumat, 27 Mei 2016.
Dari penggalian tersebut, ditemukan pecahan kreweng dan keramik. Ciri keramik tersebut sama dengan yang ditemukan di Sori Sumba, memiliki glasiran berwarna biru dan merah, serta berbentuk bunga. Keramik itu berasal dari Dinasti Ching dan Ming, dari Cina.
Namun, yang sangat menarik dalam temuan itu, tim mendapati satu mata panah yang terbuat dari logam. Penemuan mata panah itu mengindikasikan bahwa tingkat peradaban masyarakat cukup tinggi saat itu.
Temuan benda-benda purbakala tersebut melahirkan kesimpulan awal bahwa sangat memungkinkan adanya permukiman. Hal ini dapat terlihat dari keberadaan bekas benteng dengan luas sekitar 10 hektare. Putu menjelaskan, teorinya, di mana ada benteng, di situ ada kehidupan manusia.
Kemudian diperkuat lagi adanya mata air di bawah atau di luar benteng, di mana jika air laut surut, mata air tersebut bisa dimanfaatkan. Sekilas, kondisi benteng yang dibangun cukup kukuh. Bahan yang dipakai untuk pembangunannya memanfaatkan material yang ada di sekitar wilayah tersebut. Kalau dihubungkan dengan peta geologi, umur daerah di sini (Pekat, red) sekitar 1.500 sampai dengan 4.000 tahun.
Peneliti Balai Arkeologi Denpasar kembali menegaskan, peradaban Kerajaan Pekat cukup tinggi jika bertolak pada temuan keramik, mata panah untuk perburuan, dan benteng yang berdiri sangat kukuh. Khusus untuk benteng, dari aspek kekukuhan, juga letaknya yang strategis untuk akses keluar dan memantau kondisi wilayah sekitar kerajaan, serta dilengkapi dengan pos pengawasan, bisa dikatakan tingkat peradaban saat itu cukup tinggi.
Jarak posisi benteng dengan sumber mata air sekitar 50 meter. Selanjutnya, jarak dengan akses jalan raya sekitar 1 kilometer, memudahkan segala aktivitas masyarakat. Tidak hanya itu, dari aspek ekonomi, pengerahan tenaga kerja tentunya cukup banyak untuk mendirikan benteng pertahanan tersebut.
Putu mengatakan penelitian terhadap situs Doro Bente itu awalnya dilakukan karena adanya informasi dari seorang jurnalis di Belanda, Phillip Droge, yang memiliki peta lama yang dibuat Belanda pada 1794. Peta tersebut memuat sebuah benteng pertahanan dan peradaban-peradaban lain di sekitar wilayah penggalian.
“Phillips mengirimkan peta lama yang dibuat Belanda tahun 1794. Di situ termuat beberapa titik tempat penelitian yang menurut kami overlead dengan peta baru yang kami miliki, bahwa di daerah sekitar Doro Bente ada titik-titik yang menarik untuk diselidiki secara ke-arkeologi-an” ujar Putu.
Peta dari jurnalis Belanda itu kemudian ditindaklanjuti dengan serangkaian penelitian, seperti pada 2015. Pada penelitian sebelumnya, begitu lewat di jalan raya depan Doro Bente, ada singkapan batu pasir yang menyerupai benteng. Dari situlah mulai dilakukan pengembangan dengan menggali informasi dari masyarakat sekitar dan pekerja pasir yang mengatakan di Doro Bente ada benteng yang masih berdiri kokoh.
Adapun penelitian saat ini secara teknis dilakukan untuk menentukan kotak penggalian dengan cara mempelajari morfologinya, seperti kemiringan tanah. Kemudian diasumsikan bahwa kegiatan manusia pada zaman dulu berada di dalam benteng. Setelah itu, dilakukan survei di bukit di depan benteng. Survei itu menunjukkan bahwa di atas bukit terdapat pecahan keramik.
Asumsinya adalah segala sesuatu yang ada di atas pasti turun ke bawah melalui proses erosi dan akan mengendap pada lingkungan yang lebih rendah. “Makanya penggalian tanah berbentuk kotak untuk meneliti bagian bawah bukit di bagian dalam benteng,” kata Putu.
Sumber: Tempo.co