BIMA, Warta NTB – Desas desus dan mosi tidak percaya anggota terhadap pengurus harian Organisasi Persatuan Pedagang Hewan Nasional Indonesia (PEPEHANI) Bima mulai mencuat.
Pasalnya organisasi yang seharusnya mewahadahi para pelaku usaha yang bergerak di bidang perdagangan hewan ini tidak dirasakan manfaatnya oleh para pelaku usaha. Selain itu muncul fakta baru bahwa sejak tahun 2013 dan terbitnya Undang-undang nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) bahwa organisasi PEPEHANI secara Nasional sudah pasif atau bubar karena tidak meregistrasi kembali organisasi sesuai aturan dan Undang-undang Ormas yang baru.
Maka dengan tidak teregistrasinya organisasi PEPEHANI sejak perubahan undang-undang tersebut, seharusnya aktivitas yang dilakukan PEPEHANI tidak lagi memiliki dasar hukum yang jelas, namun pada kenyataannya, sejak periode tersebut Organisasi PEPEHANI Bima masih tetap beraktivitas dan masih melakukan penarikan iuran kepada para pelaku usaha Pedagang Hewan di Kabupaten/Kota Bima hingga sekarang.
Berdasarkan data yang dihimpun Warta NTB dari beberapa sumber, penarikan iuran PEPEHANI dari tahun 2013-2018 diberlakukan Rp 10 ribu/ekor hewan yang keluar NTB, sedangkan mulai tahun 2019-2021 iuran dinaikkan menjadi Rp 15 ribu/ekor, sedangkan untuk tahun 2022 rencananya akan dinaikkan lagi menjadi Rp 25 ribu/ekor.
Sementara iuran ini dibebankan kepada para pelaku usaha yang akan menjual hewan ke luar daerah. Penarikan iuaran ini pun sekaligus dengan pengurusan izin dan surat-surat lain di Disnakkeswan Kabupaten Bima. Alasan penarikan oleh petugas di dinas karena PEPEHANI dan Dinas telah menandatangani MoU kerjasama. Dari hasil iuran ini PEPEHANI bisa mengumpulkan dana puluhan hingga ratusan juta per tahun.
Salah satu pelaku usaha yang tidak ingin disebutkan namanya mengaku geram dengan ulah pengurus PEPEHANI yang diduga sengaja memanfaatkan organisasi yang sudah tidak lagi memiliki badan hukum yang jelas untuk meraup keuntungan pribadi dan kelompok.
“Seharusnya Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang, tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah atau negara, namun pada kenyataannya PEPEHANI selama ini masih tetap bermitra dengan pemerintah atau dinas untuk menarik iuran kepada pelaku usaha setiap kali ada pengeluaran hewan,” kata salah satu pengusaha kepada wartantb.com, Kamis (17/2/2022).
Terkait persoalan ini tidak tertutup kemungkinan para pelaku usaha yang merasa dirugikan akan melaporkannya secara hukum, dengan delik aduan penipuan berkedok organisasi. Karena selama lebih kurang 8 tahun terakhir organisasi ini tidak terdaftar sebagai organisasi resmi sesuai aturan pemerintah.
“Para pengurus PEPEHANI Bima diduga menutupi bahwa organisasi ini tidak lagi terdaftar sebagai organisasi resmi sejak tahun 2013. Dengan demikian mereka masih tetap bisa melakukan penarikan iuran kepada para pelaku usaha,” ucapnya.
Tidak terdaftarnya PEPEHANI sebagai organisasi resmi terungkap, setelah beberapa anggota pelaku usaha mendesak pengurus harian PEPEHANI Bima untuk segera melakukan Musyawarah Cabang (Muscab) untuk membentuk pengurus baru karena pengurus lama telah berakhir masa jabatannya sejak bulan November 2021 lalu dan sesuai AD-ART masa jabatan pengurus Cabang adalah 3 tahun.
Para pelaku usaha mengetahui organisas ini tidak lagi terdaftar, setelah mendatangi kediaman H. Amin selaku demisioner Ketua PEPEHANI Bima di Kelurahan Salama, Kota Bima pada hari Minggu 13 Pebruari 2022 lalu. Kata dia, pada pertemuan itu beliau menyampaikan bahwa kepengurusan PEPEHANI pusat, saat ini sudah tidak ada dan telah hilang kontak dengan pengurus daerah dan cabang. Persoalan itu kemungkinan karena PEPEHANI tidak lagi meregistrasi organisasi sejak adanya perubahan undang-undang Ormas tahun 2013.
“Dengan adanya pernyataan itu kami menduga penarikan iuran yang dilakukan oleh PEPEHANI Bima selama 8 tahun terakhir illegal karena tidak memiliki dasar hukum yang jelas,” sebutnya.
Dari hasil penarikan iuran tersebut, pengurus harian PEPEHANI BIMA dalam setahun bisa mengumpulkan dana puluhan hingga ratusan juta pertahun. Misalnya dalam setahun ada 15.000 ekor hewan yang keluar dari Bima dikali iuran Rp 10 ribu/ekor, maka iuran yang didapat PEPEHANI selama setahun adalah Rp 100 juta. Itu baru dikalikan Rp 10 ribu/ekor, jika dikalikan Rp 15 ribu, maka dana yang terkumpul setiap tahunnya mencapai angka Rp 150 juta.
“Rencananya tahun ini PEPEHANI mau menaikkan lagi iuran dari Rp 15 ribu/ekor menjadi Rp 25 ribu/ekor. Kami juga heran kenaikan iuran ini kesepakatan PEPEHANI dengan siapa? Organisasi saja masih belum jelas, malah mau menaikkan lagi angka iuran,” ucapnya kesal.
Selaku pengusaha yang merasa dirugikan, dia juga mempertanyakan terkait pengelolaan dana iuran yang dikumpulkan PEPEHANI Bima selama ini.
“Penggunaan dana iuran tidak pernah disampaikan secara transparan dan terbuka kepada anggota, bahkan hingga berakhirnya masa jabatan pengurus lama selama tiga tahun terakhir tidak pernah melaporkan penggunaan dana yang terkumpul kepada anggota. Lantas dana yang terkumpul ratusan juta per tahun itu digunakan untuk apa oleh pengurus harian PEPEHANI Bima,” tanya dia heran.
Terkait persoalan ini, Ketua PEPEHANI Bima demisoner H. Amin yang dihubungi wartantb.com, Jumat (18/2/2022) sore belum bisa memberikan tanggapan.
“Mohon maaf saya belum bisa memberikan tanggapan karena saat ini sedang banyak tamu di rumah, nanti akan saya hubungi kembali,” tandasnya menutup sambungan telepon. (WR-Tim)