Surat Kepada Rakyat (3)

1637

Memiliki Visi dan Menjaga Akhlak

Oleh : Ali Bin Dahlan

Wahai saudaraku, sebagaimana kalian sebagai rakyat, saya juga adalah rakyat yang masih ingin terus bekerja sesuai kemampuan dan tidak ingin meraih sesuatu dengan jalan pintas.

Kita sama-sama menjalani hidup sebagaimana tanggung jawab karena kita sama-sama rakyat yang ingin terus berbuat sampai kematian menjemput.

Tidak ada perbedaan antara kami dan kalian, saudaraku. Kita lahir sama-sama telanjang. Dan, ilmu yang kita dapat yang mebuat kita sama-sama berpakaian. Saya ingin selalu dekat, ingi selalu memahami, menjiwai apa yang kurang dan belum saya lakukan dari segala problem yang mesti diatasi.

Walau setiap hari saya menjenguk dusun ataupun kampung, belum juga sempurna apa yang saya kerjakan. Apalagi jika baru pertamakali saya lakukan sesuatu maka akan sangat sulit memahami kebutuhan rakyat.

Saudaraku, keindahan dunia ini tidak lepas dari adanya perbedaan. Seorang penyair dari Sumbawa menulis begini:

Jutaan padasan langit-Mu
Meluncurkan tetesan hujan
Mengalun kesuburan negeri hunian
Tuhan pun mengirim senyum bulan
Di bibir-bibir sukma para muallim
Senantiasa mengukir syukur
Atas segala curahan nikmat-Mu
Tak terbilang berapa butiran
Bintang gemintang itu

Itulah puisi H Dinullah Rayes yang berjudul “Seketa tetesan hujan” yang saya kutip dari kumpulan puisi ”Petir Cinta Maha Cahaya”. Puisi itu mengingatkan akan besarnya rahmat Allah SWT kepada manusia. Bentangan alam yang indah dengan berbagai liuk lekuknya. Pantas lahir seorang penyair besar dari Sumbawa yang banyak menggambarkan kemahakuasaan-Nya.

Saudaraku, sebagai rakyat biasa saya pun tersentuh pada Sumbawa sehingga sempat pula menuliskan puisi berjudul “Tanjung Menangis”. Karena sejak muda saya juga penikmat puisi-puisi Chairil Anwar. Itu semua tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Ada bagian yang hilang ketika sesaat terlupa oleh bagian yang seharusnya disyukuri. H Dinullah Rayes menikmati hidup dengan caranya, dan masing-masing orang dengan caranya pula.

Saudaraku di tanah Samawa, karya puisi mengandung beragam makna tergantung dari sisi mana sang penyair memandangnya. Karena itu tidak hanya gambaran keindahan alam sebagai anugerah, terdapat puisi kritik-kritik sosial yang menggungat berbagai keadaan seperti ketimpangan sosial, korupsi, nepotisme, dan lain-lain.

Dan, jika sudah lahir puisi tentang sesuatu, itu artinya keadaan-keadaan yang terjadi benar adanya. Karena peyair berada pada batas fakta dan rasa. Dia merasakan yang sudah ada di puncak gunung es dan getarannya ada pada kata.

Saudaraku di tanah Samawa, Sumbawa bukanlah pulau yang asing bagi saya. Sudah berpuluh tahun saya membaur di dalamnya. Sumbawa bagian yang tidak terpisahkan. Masyarakat yang ramah dengan unsur kekeluargaan yang tinggi adalah ciri khas orang Sumbawa. Karena itulah orang Sumbawa mudah membaur dengan masyarakat di mana pun dan mereka menjelajah bagian-bagian negeri ini tanpa kenal lelah sejak masa lalu.

Wahai saudaraku di Alas, Tepal, Batu Lanteh, Mantar, Talonang, Tatatr Bakat Monte, dan tempat lain yang tak bisa saya sebut satu per satu. Sebagai bagian dari NTB Sumbawa adalah darah dalam daging atau sebaliknya daging di dalam darah sebagaimana suku bangsa lain. Kita saling menghidupi sehingga di sanalah memerlukan keadilan. Kita saling melengkapi sehingga di sanalah butuh keadilan. Ya keadilan!

Apakah kita sudah adil pada diri kita? Apakah atasan sudah adil pada kita? Apakah pemimipin daerah sudah adil pada rakyatnya? Sudahkan pemimpin pusat adil kepada pemimpin daerah? Masing-masing mencari keadilan. Keadilan yang memang sulit diterapkan secara tepat kecuali mencari akar ketidakadilan itu.

Saudaraku berbagai problem kadang bisa hilang oleh problem yang lain bukan oleh solusi yang seharusnya dijalani. Itu artinya selalu ada cobaan yang membentang di depan mata. Muncul bencana alam yang sejenak mengikis sejenak problem keadilan. Mencuat kasus yang kadang menimpa orang yang kita agung-agungkan dan berbagai masalah lain.

Kini masyarakat sangat mudah mengakses informasi yang dulu kita sulit mendapatkannya. Dunia seperti menyempit sehingga membentuk masyarakat global yang saling tahu keadaan masing-masing. Ada banyak pendapat di media sosial, kadangpula ada hujatan jika tidak senang pada sesorang, apalagi kepada pemimpin. Kita sering terjebak untuk menjadikan seorang objek pelampiasan berbagai problem yang menimpa kita.

Di balik berbagai keadaan yang kita alami, selalu saja ada kasus yang sebetulnya merongrong rakyat sebagai korban. Korupsi menjadi-jadi padahal banyak rakyat di berbagai tempat tertimpa kesusahan. Mereka begitu tega merampas hak-hak rakyat demi kepentingannya sendiri, koruptor tidah pernah jera, terus beranak pinak seperti tikus yang tidak bisa punah.

Sebagai masyarakat yang beragama, patut kita berinstrospeksi bahwa hal ini menggambarkan keberagaman kita. Apakah keberagaman kita sudah baik, ataukan sebatas mengajak orang lain berbuat baik sedangkan kita sendiri belum baik?

Korupsi terjadi bukan karena sedikit orang pintar, melainkan bisa jadi karena semakin banyak orang pintar. Mereka yang pintar mabuk kuasa sehingga menghalalkan segala cara. Dengan kepintaran itu berbagai metode dilakukan untuk menyembunyikan uang hasil korupsi. Mungkin orang tidak tahu. Dan, itulah kepintaran orang yang korupsi. Karena itu korupsi menyangkut akhlak seseorang.

Wahai saudaraku, siapapun jadi pemimpin harus menengok ke bawah, tidak hanya pada hari ini melainkan setiap waktu. Visi jangka panjang pemimpin adalah untuk rakyat. Pembangunan senantiasa menggunakan perspektif jangka panjang. Tidak main jual segala hal karena melihat ada kesempatan hari ini. Kita memelihara milik kita secara mandiri untuk anak cucu kita di kemudian hari.

Wahai saudaraku, saya ini orang biasa yang biasa bicara apa adanya. Saya tidak bisa menyembunyikan perasaan dari apa yang saya lihat dan alami, karena hidup memang harus terbuka kepada siapapun. Sebab saya biasa kerja cepat untuk mengatasi keadaan, tidak bisa ditunda-tunda membuat saya selalu terusik dan berkata. Mengatasi keadaan tidak bisa hanya dengan rencana, melainkan tindakan. Dan apa yang dilakukan harus dikatakan, tidak disembunyikan karena hanya mempersiapkan diri menjadi sesuatu yang ‘berharga’. (Bersambung)